![]() |
from google. Aku suka sekali covernya. Cocok! |
Penulis:
Miyuki Miyabe
Penerbit:
Gramedia Pustaka Utama
Tahun
terbit: 2016
Halaman:
480 hlm
ISBN:
978-602-03-2686-3
Yeay,
akhirnya Reight Book Club baca bareng sampai di bulan Juni! Saatnya untuk baca
buku bergenre Misteri. Sebenarnya aku jarang sekali membaca genre ini
dan benar-benar tidak tahu referensi buku misteri yang bagus. Jadi aku bertanya
pada salah satu teman yang suka baca misteri dan dapat beberapa rekomendasi
salah satunya All She Was Worth karya Miyuki Miyabe ini. Saat meminta
referensi, aku memastikan novelnya tidak memuat hal-hal berdarah-darah atau
proses pembunuhan sadis. Jadi pilihanku jatuh pada novel ini yang ternyata
setelah kubaca sangat menarik. Yuk, simak lebih lanjut!
Sinopsis
Seorang perempuan cantik lenyap tanpa jejak, namun hasil
penyelidikan menunjukkan dia bukanlah sosok seperti yang ditampilkan selama
ini. Apakah dia korban, pembunuh, atau kedua-duanya? Di negara yang melacak
para penduduknya dengan saksama, bagaimana bisa dua perempuan memiliki
identitas yang sama, lalu menghilang tanpa jejak? Di tengah masyarakat Jepang
yang serba konsumtif, banyak orang terjebak utang, lalu jatuh ke dalam jerat
para rentenir gelap yang sangat berbahaya, sehingga kadang-kadang pembunuhan
menjadi satu-satunya jalan keluar.
Ringkasan
Shunsuke
Honma sedang cuti dari pekerjaannya sebagai detektif saat Jun Kurisaka,
keponakan jauhnya dari mendiang istrinya Chizuko datang padanya meminta bantuan
untuk mencari tunangannya yang menghilang—Shoko Sekine. Saat Honma bersedia
membantu masalah Jun pun dia tidak tahu bahwa masalah hilangnya seorang gadis
ini akan menjadi serangkaian penyelidikan yang melibatnya banyak sekali orang
dan akhirnya mengerucut pada pembunuhan. Shoko Sekine yang dikenal bukanlah
Shoko Sekine sesungguhnya. Ada seorang gadis yang merebut identitasnya dan
hidup sebagai Shoko Sekine. Honma berusaha mengungkap misteri identitas itu dan
dihadapkan oleh masalah finansial dan perdata dan pidana yang ternyata lebih
rumit daripada yang dia perkirakan. Hingga pada waktunya, Honma dan rekan-rekannya
yang membantunya menemukan jejak-jejak gadis misterius itu, misteri tersebut
menemukan ujungnya yaitu—Kyoko Shinjo.
First Impression
Sebelum
membacanya aku sudah mengantisipasi kalau aku akan kesulitan mengikuti pola
ceritanya karena tidak terbiasa dengan genre ini. Namun yang unik justru itu,
bagaimana detektif Honma berusaha kesana kemari mencari dan melacak jejak Kyoko
Shinjo dan menemukan petunjuk-petunjuk yang tak terduga sebelumnya—bahkan dia
mendapatkannya dari Makoto, putranya yang masih usia dua belas tahun secara
tidak sengaja. Aku berharap tidak ada tusuk-tusukan yang berdarah-darah dan
benarlah-syukurlah. Tetapi yang membuat agak mengerikan memang permasalahan
pengambil alihan identitas seseorang yang mengharuskan pelaku membunuh orang
itu demi mendapatkan kehidupan baru. Itu sangat-sangat membuat merinding. Bayangkan
itu terjadi padamu. Hiiiiy.
How Did I Experience This Book?
Belum
terbiasa dengan novel misteri-detektif ini, aku membaca pelan-pelan sambil
memahami alur cerita dan detail-detail cerita. Ternyata hal itu memberikan
sensasi yang agak pusing tapi nagih. Seperti mengerjakan soal matematika remeh
tapi sulit penyelesaiannya. Nah, banyak hal baru yang kupelajari dari novel ini
yaitu mengenai kondisi ekonomi Jepang saat itu dimana sedang marak kredit dan
kartu kredit yang ternyata membuat banyak orang bangkrut dan terperosok ke
dalam utang besar dan menghalalkan segala cara untuk terlepas dari utang. Aku
bahkan baru tahu istilah ‘kebangkrutan pribadi’ dan tindakan kriminal mengambil
alih identitas seseorang. Tidak hanya mengakui diri sebagai orang lain atau
memalsukan dokumen biasa tetapi benar-benar melenyapkan orang itu demi
mengambil ahli hidup orang itu dan menjadi orang itu. Itu dilakukan supaya
terlepas dari kejaran rentenir dan tuntutan utang. Itu semua sangat seru di
buku ini. Dan proses pengungkapan pelaku kejahatannya melibatkan banyak orang. Sepanjang
cerita aku resah dan ngeri membayangkan ada orang yang mampu melakukan
kejahatan seperti itu.
Character
Aku
suka sekali karakter Makoto, anak dari detektif Honma. Dia ini tipe anak yang
cerewet tapi sangat menyayangi ayahnya. Perhatian Makoto pada ayahnya sangat
hangat dan membuat aura buku ini tidak semengerikan yang kubayangkan. Dan juga
karakter Isaka, tetangga Honma yang membantu mengurus rumah yang lucu dan
sering melontarkan komentar tentang penyelidikan Honma. Ini membuatku merasa
kisah ini bisa jadi nyata karena karakter-karakternya bisa dengan mudah mewujud
seolah sungguhan.
Plot
Untuk
Plot aku belum bisa banyak berkomentar untuk jenis novel ini. Selain menyajikan
plot kisah, penulisnya juga memberikan keterangan tentang istilah-istilah
finansial seperti ‘kebangkrutan pribadi’ dan kondisi budaya konsumtif
masyarakat Jepang di tahun 90-an. Agak kaku sih (ya jelas karena topiknya aja
serius :P) tapi plotnya bisa membuatku bertahan membaca sampai akhir.
POV
Orang
ketiga dan lebih banyak fokus pada Honma. (Ya, iyalah, detektifnya keles).
Tema
Detektif.
Budaya konsumtif. Pengambilalihan identitas. Pembunuhan berencana.
Quotes
Aku
suka paragraf terakhir dari buku ini, penggalannya adalah:
Pertanyaan-pertanyaanku tidak penting. Aku ingin mendengar ceritamu. Bagian-bagian yang belum pernah kauceritakan pada siapa pun, nyawa-nyawa yang kaubawa serta ke mana-mana.
Ending
Memuaskan.
Bahkan endingnya bisa memberikan ruang untuk pembaca supaya bisa berimajinasi
sendiri bagaimana akhir misteri itu tanpa khawatir menjadi tidak jelas dan
tidak punya akhir. Akhirnya si pelaku ketemu dan pembaca akan membayangkan
sendiri dia bagaimana semua kedoknya dibongkar.
Benefit
Pesan
dari novel ini: Konsumerisme atau budaya konsumtif adalah awal dari banyak
masalah. Bijaklah dengan cara mengolah finansial dan cara hidup.
Question
Aku
senang karena penerjemahannya juga sangat rapi. Tetapi aku ada sedikit
pertanyaan. Apakah novel ini diterjemahan dari bahasa Jepang langsung ke Bahasa
Indonesia atau dari Bahasa Inggri ke Bahasa Indonesia? Karena ada panggilan ‘Sir’
yang harusnya diterjemahkan ‘Tuan’ saja menurutku. Jika seperti itu, apa
alasannya memakai ‘Sir’ ketimbang ‘Tuan’?
0 comments