Judul : Girls in The Dark
Penulis : Akiyoshi Rikako
Penerbit : Haru
Terbit :
Mei 2014
Tebal : 279 hlm
ISBN : 978-602-7742-31-4
Genre : J-Lit, remaja, thirller, dark,
psycho, Tantangan Membaca 2015: Buku-buku “karya” Dini Novita Sari
Sinopsis
Apa yang ingin disampaikan oleh gadis itu? Gadis itu
mati. Ketua Klub Sastra, Shiraishi Itsumi, mati. Di tangannya ada setangkai
bunga lily. Pembunuhan? Bunuh diri? Tidak ada yang tahu. Satu dari enam gadis
anggota Klub Sastra digosipkan sebagai pembunuh gadis cantik berkarisma itu.
Seminggu sesudahnya, Klub Sastra mengadakan pertemuan. Mereka ingin mengenang
mantan ketua mereka dengan sebuah cerita pendek. Namun ternyaa, cerita pendek
yang mereka buat adalah analisis masing-masing tentang siapa pembunuh yang
sebenarnya. Keenam gadis itu bergantian membaca analisis mereka, tapi... Kau...
pernah berpikir ingin membunuh seseorang? – Girls in The Dark.
First Impression
Saya tidak
pernah membaca novel bergenre thriller, horror, suspense atau apapun
yang berbau pertumpahan darah, kegilaan, psycho dan hal-hal gelap
seperti ini. Bacaan saya selama ini jika dianalogikan yaitu seperti pelangi,
berwarna-warni ceria, juga seperti es-krim tiga rasa cokelat-vanila-strawberry
dan berbau teori konspirasi atau sci-fi. Saya anti pada bacaan apapun yang
menggandung unsur kegelapan. Tapi Tantangan Membaca ‘karya’ Dini Novita Sari
mengubah segalanya. ‘Girls in The Dark’ adalah novel pertama sepanjang sejarah
membaca novel saya yang berbau dark-thriller. Jujur saya kurang menyukai
genre seperti itu. Saya tidak bisa membaca sesuatu yang berisi adegan
berdarah-darah dan pembunuhan. Tapi ‘Girls in The Dark’ ternyata tidak seseram
yang saya kira. Cocoklah untuk sebagai kudapan pembuka jika saya ingin menambah
daftar bacaan saya dari genre serupa.
Diterbitkan
oleh Haru pada Mei 2014 cetakan pertama, ‘Girls in The Dark’ adalah salah satu
koleksi J-Lit yang cukup diminati oleh para pembaca novel Haru. Saya yang tidak
begitu mengikuti genre dark, berharap tidak kapok ketika membaca novel
ini. Dan ternyata saya tidak kecewa. Saya kira akan ada adegan mengerikan yang
membuat perut mual atau suasana yang menegakkan bulu kuduk, itu semua tidak
seperti yang saya bayangkan. Dibalut dengan desain cover yang tidak hanya
menarik tapi juga sangat cocok dengan kisah novelnya. Seperti biasanya Haru
memiliki desain sampul buku yang berbau Asia (Jepang-Korea) sesuai dengan napas
novel-novel yang diterbitkan. Bagi yang pertama kali melihat novel Girls in The
Dark, dari sampulnya pasti mengira komik Jepang.
The Story
Kisah ini
bercerita tentang sekumpulan gadis di sebuah sekolah putri di Jepang yang
tergabung dalam Klub Sastra. Shiraishi Itsumi, sebagai ketua dan Sumikawa
Sayuri sebagai wakilnya. Anggota-anggotanya yang lain adalah Nitani Mirei,
Kominami Akane, Diana Detcheva, Koga Sonoko danTakaoka Shiyo. Klub Sastra yang
eksklusif yang hanya orang-orang terpilihlah yang bisa bergabung di sana.
Mengisahkan tentang persahabatan, persaingan, dendam dan ambisi yang terjalin
dalam sebuah persahabatan antargadis yang penuh dengan rahasia busuk dan gelap.
Akiyoshi Rikako sang penulis dengan cerdas menciptakan karakter-karakter
yang unik dan solid serta alur cerita yang cemerlang. Aroma konflik psikologi
antarkarakter diramu dengan bumbu-bumbu persaingan dark thriller
menjadikan kisah dalam novel ini berada satu tingkat lebih tinggi daripada teenlit-teenlit
lainnya. Tidak hanya mengumbar persaingan dalam persahabatan antargadis yang
pernuh intrik, tapi Akiyoshi mampu mengulik hal yang mendalam dari sebuah
persahabatan antargadis.
Saya tidak
mau membuka spoiler di sini jadi tidak akan ada bocoran apapun tentang alur
kisahnya di sini, yang ingin tahu ya harus baca langsung pokoknya! Saya lebih
tertarik mengulik ide cerita dari sang penulis Girls in The Dark ini.
Dunia
literasi Indonesia sempat dibanjiri dengan novel-novel remaja, teenlit,
chiclit, young-adult yang notabene harus saya akui terlalu drama-queen
dan sorry for being rude...norak. Ide cerita cewek cupu musuh cewek
kece, cewek miskin naksir cowok keren pemain basket, cewek kece saingan
popularitas dan gebetan... Hah... semuanya bikin eneg. Mungkin itulah
tren waktu itu, tapi saya masih menyayangkan mengapa hal seperti itu bisa
bertahan sekian lama sementara di luar sana para anak-anak dan remaja di negara
lain membaca karya-karya yang lebih cerdas baik secara konten yang dimuat atau
elemen sastranya. Mengapa sulit menemukan novel anak atau remaja dari dalam
negeri sendiri yang berbobot? Mengapa yang jadi topik hanya cerita menye-menye
dan yah you name it.
Ketika saya
membaca cerita ‘Girls in The Dark’ yang berasal dari Jepang ini, saya melihat
hal yang berbeda dari remaja di Indonesia dan di Jepang. Yah, itulah kultur
atau budaya. Pastilah berbeda. Ketika novel remaja Indonesia getol mengulik
kisah cecintaan semu antar cewek cupu dengan cowok sempurna yang mustahil ada,
di luar sana contoh konkritnya ‘Girls in The Dark’ ini membahas psychological
conflicts yang mengungkap sebuah kecerdasan berpikir sang penulis untuk
memutar alur menjadi penuh teka-teki. Ide ceritanya melahirkan
karakter-karakter yang memang ‘berkarakter’. Entah apakah memang selalu seperti
itu? Tapi menurut saya, film dan novel Jepang, Korea atau Thailand selalu bisa
menampilkan ide cerita yang unik dan tidak terpikirkan. Salah satu bukti ketajaman
kreativitas orang sana, ya?
‘Girls in The
Dark’ banyak mengandung hal-hal yang tidak saya mengerti seperti merek-merek
kosmetik, parfum, baju perabotan rumah atau alat masak yang branded.
Tapi sedikit banyak saya memahami gejolak batin setiap karakternya dari segi
psikologi. Hal yang ditampilkan oleh Akiyoshi Rikako ini meskipun dalam balutan
novel fiksi, merupakan ekspresi dimana keadaan-keadaan yang dialami oleh
karakter di dalamnya adalah fenomena psikologi remaja. Hal yang jarang saya
temui dalam novel remaja Indonesia di masa berjayanya teenlit dan chiclit.
Lima bintang untuk ide cerita ‘Girls in The Dark’.
Ditilik dari
unsur kebahasaannya, saya kurang bisa berkomentar banyak. Karena novel ini
merupakan novel terjemahan tentu saja proses penerjemahan selalu berpengaruh
pada keindahan bahasa asli dan bahasa terjemahan yang dipakai dalam novel. Tapi
menurut saya, penerjemahannya cukup baik dan berhasil mempertahankan ‘rasa’
Jepangnya. Saya tidak mendalami bahasa Jepang jadi tidak bisa mendetail dari
segi bahasanya. Tapi dari segi penulisan dan ide, ‘Girls in The Dark’ ini
digarap dengan sangat baik dan penuh strategi.
Menemukan
beberapa kesalahan pengetikan yang berupa pengulangan kata. Saya lupa halaman
berapa tapi masih ingat kata yang diulang tersebut adalah kata ‘untuk’. Dan ada
kejanggalan bagi saya dengan kata ‘menakutiku’ pada halaman... duh berapa ya...
lupa... sebentar saya cari dulu. Nah, ketemu! Di bagian cerpen Itsumi pada
halaman 248.
“... Para
pendosa itu menakutiku, menghormatiku.” – halaman 248, ‘Girls in The Dark’.
Kata ‘menakuti’
di situ awalnya membuat alis saya berkerut bingung. Siapa yang takut pada
siapa? Di situ harusnya Itsumilah yang ditakuti oleh anggota klub. Tapi di situ
Itsumi ‘berbicara’ seolah mereka (para pendosa) menakutinya, membuatnya takut.
Nah, setelah saya mengecek di KBBI, ternyata ada dua makna dari kata
‘menakuti’. Arti pertama adalah ‘menyegani’ sementara arti kedua adalah ‘menimbulkan
rasa takut kepada seseorang’. Saya kadang terpengaruh bahasa Inggris. Jadi
apakah ‘menakuti’ yang dimaksud di situ ‘scared me of’ atau ‘scared
of me’?
Jika dengan
bahasa Inggris akan jelas They scared me of them (mereka membuat saya
takut pada mereka) atau they are scared of me (mereka takut pada saya).
Hahaha, kadang saya bingung dengan bahasa sendiri, bahasa Indonesia :P. Ini
analisis saya waktu menemukan kata itu dalam novel ini. Tidak bermaksud
menyalahkan penulisan atau penerjemahannya. Saya jadi termotivasi menelusuri
kata tersebut!
From The Book
Dari buku ini saya
mengambil satu pelajaran penting. Bahwa dalam persahabatan sekalipun kita tidak
akan bisa mengenal seseorang sampai ke wujud aslinya. Di balik rahasia gelap
seseorang masih ada rahasia yang lebih gelap lagi. Dan dalam mempercayai seseorang
kita tidak boleh seutuhnya seratus persen. Itu sama artinya kita menyerahkan
hidup kita pada orang itu. Sementara sebagai seorang yang beragama, kita tentu
saja harus paling percaya kepada Tuhan.
0 comments