WONDERSTRUCK dan THE BOOK THIEF

Apakah kau pernah merasakan rasa heran dan takjub yang sangat dalam pada satu waktu sekaligus? Hanya ada rasa ingin tahu di otak dan juga hatimu? Hingga rasa-rasanya kau takkan melakukan apapun sampai kau menyuapi rasa ingin tahu itu dengan beberapa sendok penemuan-penemuan dan jawaban?

     
(picture from google)

Hal itulah yang kupelajari dari kisah Ben Wilson (Wonderstruck – Brian Selznick) dan Liesel Memminger (The Book Thief – Markus Zuzak). Kedua anak ini diliputi oleh rasa ingin tahu akan sesuatu yang memanggil hati mereka. Ben Wilson yang tuli melakukan perjalanan dari Minnesota, Gunflint ke New York City hanya berbekal alamat lama pada selembar pembatas buku demi menemukan siapa sebenarnya dirinya. Liesel Meminger yang baru saja kehilangan adik laki-lakinya dan harus tinggal bersama Pria Berhati Akordion dan Wanita Berjubah Petir tidak bisa berhenti mencuri buku-buku yang seharusnya terlarang pada waktu itu. Rasa penasaran mereka bagaikan makhluk buas yang kelaparan.

Sudah menjadi ciri-ciri para anak bahwa mereka memiliki rasa ingin tahu yang tak hanya tinggi tetapi besar. Mereka tak akan berhenti setelah menemukan jawaban untuk pertanyaan pertama mereka, mereka terus mengejar jawaban untuk pertanyaan di kepala mereka yang sama tak terhitungnya dengan jumlah konstelasi bintang di angkasa.

Yang hanya bisa kukatakan tentang Wonderstruck hanyalah “I was wonderstruck!” Sementara aku membaca cerita dengan cara melihat ilustrasinya, aku merasa menjadi seseorang yang tuli yang hanya bisa melihat dan membuat efek suara sendiri di dalam otakku untuk menggambarkan kejadian-kejadian di dalam sana. Sementara aku membaca ceritanya dengan cara membaca tulisannya, aku tahu satu-satunya cara menuliskan kisah yang baik adalah dengan cara yang jujur. Tulus. Dan satu-satunya cara membaca yang menyenangkan adalah dengan membebaskan diri untuk berpetualang dalam cerita itu. Wonderstruck tak hanya menceritakan satu hal, namun dua kisah sekaligus. Ben dikisahkan dengan keterangan waktu sekarang dengan tulisan oleh Brian Selznick sedangkan lima puluh tahun yang lalu, Rose nenek Ben diceritakan melalui ilustrasi-ilustrasi ajaibnya. Kesannya adalah Ben yang dinarasikan hanya dengan kata-kata akhirnya muncul dalam ilustrasi seperti efek Jack-In-The-Box. 

Lihat trailer booknya di sini supaya lebih penasaran dengan kisah Wonderstruck. (Aku sedang bertanya-tanya apakah aku bisa mendapatkan .mp3 dari back song trailer book ini. Musik latar belakangnya indah).

Kesan yang tak kalah menakjubkan kuperoleh setelah melihat The Book Thief. The Book Thief dalam versi filmnya saja sudah membuatku wonderstruck, dan entah bagaimana lagi bila aku membaca versi bukunya. Liesel Meminger mengingatkanku pada gadis kecil yang tidak memiliki apa-apa kecuali rasa sayangnya kepada buku yang sampai sekarang terperangkap pada raga gadis duapuluh satu tahun yang sering tersesat dalam pikirannya sendiri. Apresiasiku kepada semua orang yang terlibat dalam pembuatan film The Book Thief mulai dari tukang sapu lokasi syutingnya hingga para produser-sutradara-kru film dan para aktor yang terlibat. Aku bersyukur tidak perlu melihat scene atau konten di atas umur dalam film anak-anak yang justru kerap kutemui dalam film animasi atau kartun; yang justru tidak penting untuk muncul. Aku tidak pernah membayangkan Kematian justru menceritakan kehidupan dengan kacamatanya yang apa adanya sebelum ia merenggut kehidupan itu dari manusia. Aku belum pernah membaca tulisan Markus Zuzak namun diksinya yang menyebutkan “Pria Berhati Akordion” dan “Wanita Berjubah Petir” bagiku sangatlah cerdas dan mengena.

Ini bukanlah review buku atau film. Hanya tentang rasa ingin tahu dari kisah-kisah ini yang membuatku bertanya pada diriku sendiri. Apakah aku memiliki rasa ingin tahu sebesar dan sekuat Ben dan Liesel? Apakah buku benar-benar berpengaruh pada diriku dan hidupku?
Dari kedua kisah ini pula aku tahu bahwa buku bisa mengubah kehidupan. Bahwa berbekal pembatas buku usang, Ben bisa menemukan tempat dimana ia semestinya berada. Bahwa dengan mencuri buku dan membacakannya untuk seseorang, Liesel bisa mendapatkan kembali keceriaan dalam hidupnya. Cerita-cerita yang menghangatkan hati.

Dan bila Wonderstruck bisa diwujudkan dalam sebuah film seperti The Invention of Hugo Cabret dan The Book Theif, aku berharap Sophie Nelise akan memerankan Rose, gadis kecil dalam ilustrasi Wonderstruck yang mana akan menemukan Ben sebagai harta karunnya yang hilang pada akhir kisah.

Potret Rose dalam Wonderstruck (captured by me).



Potret Liesel Meminger (Sophie Nelise) dalam The Book Theif  source: Kaylapocalypse Tumblr.


For me...

Life is a wonderland and a book is one of the paths to adventure it.

Share this:

ABOUT THE AUTHOR

logophile • memorabilia of my adventure as a writer, a reader, a translator and a light seeker •

0 comments