Critical Review for Ika Natassa’s ‘Critical Eleven’


Goodreads
Judul: Critical Eleven
Penulis: Ika Natassa
Penerbit: Gramedia
Tahun Terbit: Agustus 2015
Tebal: 344 hlm
Bahasa: Indonesia
ISBN13: 9786020318929

Dalam dunia penerbangan, dikenal istilah critical eleven, sebelas menit paling kritis di dalam pesawat—tiga menit setelah take off dan delapan menit sebelum landing—karena secara statistik delapan puluh persen kecelakaan pesawat umumnya terjadi dalam rentang waktu sebelas menit itu. It's when the aircraft is most vulnerable to any danger.

In a way, it's kinda the same with meeting people. Tiga menit pertama kritis sifatnya karena saat itulah kesan pertama terbentuk, lalu ada delapan menit sebelum berpisah—delapan menit ketika senyum, tindak tanduk, dan ekspresi wajah orang tersebut jelas bercerita apakah itu akan jadi awal sesuatu ataukah justru menjadi perpisahan. 

Ale dan Anya pertama kali bertemu dalam penerbangan Jakarta-Sydney. Tiga menit pertama Anya terpikat, tujuh jam berikutnya mereka duduk bersebelahan dan saling mengenal lewat percakapan serta tawa, dan delapan menit sebelum berpisah Ale yakin dia menginginkan Anya.

Kini, lima tahun setelah perkenalan itu, Ale dan Anya dihadapkan pada satu tragedi besar yang membuat mereka mempertanyakan pilihan-pilihan yang mereka ambil, termasuk keputusan pada sebelas menit paling penting dalam pertemuan pertama mereka.

Diceritakan bergantian dari sudut pandang Ale dan Anya, setiap babnya merupakan kepingan puzzle yang membuat kita jatuh cinta atau benci kepada karakter-karakternya, atau justru keduanya.


*

Sebelum aku berkata apa-apa tentang novel ini, izinkan aku untuk pecah telor setelah sekian lama absen dari ruang resensi-meresensi buku. Yey, akhirnya di awal tahun 2017 aku mulai meresensi buku yang kubaca! And, I’m glad to have Critical Eleven as the first book I reviewed. It’s from national bestseller author, tho.

Lalu izinkan aku angkat topi kepada Ika Natassa yang telah membuatku merasakan turbulence sepanjang membaca kisah Ale-Anya ini *bow*. Seriously, aku merasakan turbulensi otak dan hati di halaman pertama hingga akhir. Yang mana hal itu berarti something amazing and something ‘bad’ happen when I’m reading this novel. 

What’s up with the something ‘bad’? Apakah itu benar-benar sesuatu yang buruk? Mungkin.

Ini adalah pertama kalinya aku membaca karya Ika Natassa. Dan jujur aku menyesal mengapa tidak membaca karya-karyanya yang lain, sejak lama. Sesuai dengan judul posting ini, ‘Critical Review for Ika Natassa’s Critical Eleven’, karena turbulensi-turbulensi yang kualami selama membaca, aku tergerak untuk melihat karya ini di luar garis entertainment reading. Karena sesuatu di buku ini sangat menarik perhatianku, membuatku tidak tahan untuk bertanya-tanya, menggeretku untuk berpikir. I’ve never found such mind-evoking novel like this in 2016. Mari mulai ngobrolin buku ini!

The Cover 
Ini pasti bercanda. Sampul bukunya aduhai, aku dibuat jatuh cintaaa! Pemilihan warna biru yang agak kelabu kelam, goresan pensil gambar pesawatnya. Oya, dan kualitas kertasnya bagus sekali. Tebal, kurasa enggak sama seperti buku-buku lainnya. Lalu, kurang sexy apa lagi? Ini didesain sendiri oleh penulisnya! Aku menganga ketika melihat siapa desainer sampulnya. Yap, aku punya kebiasaan memeriksa siapa penata sampul ketika menemukan novel berpenampilan cantik seperti ini. Dang, you’ve got me, Mbak Ika!

dok pribadi
The Story Idea
Drama yang disajikan melalui Ale dan Anya, pasangan suami-istri yang ada di tahun-tahun awal pernikahan mereka memang sesuatu yang dekat dengan kehidupan nyata. Umum sekali bagi pasangan muda yang sedang sayang-sayangnya lalu ditimpa musibah seperti yang terjadi pada Ale dan Anya ini. Lalu mereka terjebak dalam situasi aku-sayang-kamu-tetapi-aku-marah-sekali-dan-masih-sulit-buat-maafin-kamu-tetapi-aku-sayang-kamu-tetapi-kamu-sakiti-aku. Argh! Itu adalah deskripsi paling mendekati jika kalian ingin tahu rasanya neraka. Kondisi seperti itu enggak enak sama sekali buat kedua belah pihak. Coba tanya Ale dan Anya sendiri, deh.

Mengambil tema kehilangan dan grief, penulis menggambarkan pernikahan Ale-Anya yang sempurna di mata orang-orang luar menjadi sebuah hubungan yang nyaris tak punya harapan. Anya dan Ale sama-sama tenggelam dalam kehilangan dan duka, bedanya Ale justru menambah luka itu dengan menyakiti perasaan Anya. Sementara itu, Anya berbalik menyakiti Ale dengan cara yang umum dilakukan wanita... diam, menjauh, membuat jarak, menghindar. Pasti berat bagi dua orang yang saling mencinta untuk akhirnya saling menyakiti.

The Plot and The POVs
Menggunakan plot maju-mundur yang dari sisi pengamatanku, penulis ingin memberikan kesan kepada pembaca bahwa dua tokoh utamanya, Ale-Anya, masih terikat dengan kenangan-kenangan indah mereka sebelum tragedi besar (plot mundur/past) dan rasa sakit setelah mengalami musibah kehilangan anak pertama mereka di dalam kandungan (plot maju/present). 

Diceritakan dari sudut pandang orang pertama kedua tokoh utamanya, penulis pasti tidak ingin sekecil apapun hal yang terjadi pada Ale dan Anya terlewatkan oleh pembaca. POV orang pertama adalah jarak terdekat antara karakter dan pembaca, jarak terdekat antara karakter dengan penulis. Namun, bisa menjadi jarak terdekat sekaligus jarak terjauh antara pembaca dan si penulisnya karena sebagai pembaca kita dihadapkan langsung pada keakuan dari tokoh-tokohnya.

Menggunakan omni POV seperti ini merupakan tantangan tersendiri bagi penulis untuk benar-benar teliti supaya tidak terjadi campur aduk karakter yang menjadikan karakter satu dengan yang lain ‘tercemari’, supaya dapat mempertahankan ciri khas karakter A dan B. Good thing is menulis dengan POV ini sangat menyenangkan dan menantang! Saat ini pun aku sedang belajar menulis dengan POV orang pertama laki-laki dan perempuan.

And congratulation for Ika Natassa. Writing in double pov is not as simple as what it looks like.
Diceritakan bergantian dari sudut pandang Ale dan Anya, setiap babnya merupakan kepingan puzzle yang membuat kita jatuh cinta atau benci kepada karakter-karakternya, atau justru keduanya.
Nah, di blurb bukunya saja sudah dituliskan demikian. Jelas sekali penulis ingin mendekatkan pembaca dengan para karakternya. Nah, lalu apakah aku jatuh cinta atau benci, atau kedua-duanya? Tidak, bukan ketiganya. Yang terjadi adalah... I both sympathize and criticize them. For the sake of peace, this is just me trying to analyze this novel as objective as I can. :p Apa yang membuatku ‘gemas’ dengan novel ini? Kita lanjut ke poin di bawah.

The Characters
Mereka adalah alasan terjadinya turbulensi di setiap halaman yang aku baca. Aku tidak pernah bisa berhenti menanyakan kenapa mereka bersikap seperti ini-itu, mengapa mereka tidak mengambil langkah lain, mengapa mereka berkata seperti itu? Argh, mengapa kedua karakter ini sama-sama membuatku ingin menjadi penengah, mendudukkan mereka bersama dalam momen kontemplasi dan menyadarkan mereka! Ale, Anya... what’s wrong with you, guys? T_T 

Aldebaran Risjad seorang engineer yang yang bekerja di rig (pengeboran minyak bumi) di laut lepas di somewhere in Meksiko or something. Dia adalah anak pertama yang selalu menjadi kebanggaan sampai akhirnya dia menolak untuk meneruskan jejak karir yang sama dengan ayahnya yang seorang jenderal. Sukanya Ale sama Lego udah termasuk ke kategori bikin cemburu banget. Ale juga pandai brewing kopi dan itu sungguh sexy sekali. Dia juga suka makan di pinggir jalan seperti ketoprak Ciragil, suka cemburuan dan iri sama Jack—anjingnya yang dapat perhatian lebih dari Anya ketika mereka berdua sedang marahan.
Ujian keimanan seorang laki-laki itu bukan waktu dia digoda oleh uang, perempuan, atau kekuasaan seperti banyak yang dikatakan orang-orang. Ujian keimanan itu sesungguhnya adalah ketika yang paling berharga dalam hidup laki-laki itu direnggut begitu saja, tanpa sebab apa-apa, tanpa penjelasan apa-apa, kecuali bahwa karena itu sudah takdirnya. – Ale. (hlm. 121)
I’m like... “Ale, bukan hanya laki-laki saja yang begitu... siapapun pasti sedih sesedih-sedihnya kehilangan orang atau sesuatu yang paling berharga tanpa diduga-duga.” 

Tanya Baskoro, konsultan di sebuah perusahaan yang sering bepergian jauh. Anak tunggal di keluarga. She seemed so hopelessly romantic before meeting Ale.

A 28 year-old aimless, manless girl.  –  Anya. (hlm. 6)
Pribadi yang kuat karena dia bisa bekerja di bawah pressure meskipun ketika hamil. Suka banget kopi buatan Ale. Sayang sekali, aku harus mengakui bahwa aku lebih attached dengan Ale daripada Anya. Well, who doesn’t? LOL. Namun, di beberapa poin aku sepaham dengan Anya.

Berani menjalin hubungan berarti berani menyerahkan kendali atas perasaan kita kepada orang lain. Menerima fakta bahwa sebagian dari rasa kita ditentukan oleh orang yang menjadi pasangan kita. - Anya (hlm. 7-6)

Ingin punya tujuan pulang, tapi kok nggak berani menjadikan seseorang itu rumah kamu toh, nduk? – Anya. (hlm. 8)

Itu adalah bagian aku jatuh bersimpati pada Ale-Anya dan masalah mereka. And here, comes the critics I cannot let go...till it just buried in my mind.


Aku tahu mereka sedang dalam masalah tragedi besar, musibah kehilangan anak sebelum bisa dibuai sungguh sesuatu yang menyakitkan. Bisa kubayangkan duka seperti apa tetapi anehnya Ale dan Anya ini bernarasi seolah dengan suara ceplas-ceplos, berapi-api, menggebu-gebu terutama di bagian mereka sedang memikirkan, mendeskripsikan atau membicarakan masa-masa indah mereka yang berlalu sebelum tragedi (plot mundur). Seperti menyebutkan detail tempat atau benda atau kejadian ‘mewah’ mereka. It’s a lil bit awkward though, lebih terfokus pada hal-hal indah itu sementara plot masa sekarang (plot maju) yang harusnya depresif, kelam dan menyakitkan justru kurang menjadi fokus. Tenggelam di bawah detial-detail nama-nama someone, something, whatever it is yang menurutku kurang memberikan dampak signifikan pada plot utama yang seharusnya adalah bagaimana Ale dan Anya mengatasi masalah mereka (plot maju).

Wajar sekali untuk mengingat masa lalu yang indah itu. Namun, justru janggal adanya ketika masa lalu yang indah itu diceritakan indah sesuai yang dulu dengan keadaan Ale dan Anya sekarang. Masa-masa indah mereka dulu akan lebih berpengaruh pada plot utama jika diceritakan dengan lebih sendu, lebih melankolis, lebih depresif lagi. Bukan dengan ‘character voices’ yang bersemangat dan menggebu-gebu.

Aku mendapat kesan ini karena tempo kalimat, pemenggalan, speech act kedua karakter ini sama-sama meletup-letup dan ngelantur. Mostly Anya, yang sampai ke mana-mana pikirannya.

Ini menjadikan plot utama (plot maju/sekarang) justru tenggelam bersama pikiran Ale dan Anya yang going to every where to nowhere. Semestinya mereka bertindak, make action to solve obstacles. Jika Anya pernah berpikir untuk meninggalkan Ale, dia kurang menunjukkan itu. Bisa saja ada plot di mana dia menghubungi pengacara untuk konsultasi perceraian (itu akan lebih menantang pembaca). Aku mengira Anya akan melakukan itu ketika dia berpura-pura kabur dari rumah. Dan Ale... jika dia ingin Anya tetap tinggal... dia bisa mencoba ‘menjebak’ Anya untuk selalu berinteraksi dengannya. Dibawa bepergian dengan skenario bohongan, mungkin? Ale tampak helplessly dump setiap kali Anya berhasil kabur menjauh darinya. Aku zzzzzebel. *emot cemberut*. Mereka terus seperti itu bahkan hingga memasuki ending. And I do have something to say about the ending. 

The First Act - 1/3 Part 
Penghantaran karakter dan konfliknya sudah sukses. Awal yang baik, lancar. Well done. 

The Second Act - 2/3 Part 
Karakternya masih sama-sama tidak melakukan tindakan solutif pada masalah mereka. Anya justru menjauh. Ale kebingungan menghadapi sikap jaga jarak istrinya. 

The Thrid - 3/3 Part 
Dan mereka masih belum saling melakukan sesuatu untuk menyelesaikan masalah mereka. Anya tidak melakukan apa-apa untuk Ale. Sementara Ale juga demikian. 

The Ending 
Pendapatku pribadi, penting bagi karakter untuk menyelesaikan masalah atau konflik dengan ‘tangan’ dan ‘perbuatan’ mereka sendiri secara langsung. Justru di kasus Ale-Anya, konflik diselesaikan dengan kehamilan kedua Anya. Bukan berarti tidak bisa memakai ending seperti ini. Akan tetapi sangat disayangkan karakter di sini kurang beraksi.

Senang akhirnya mereka kembali mendekat dan didekatkan oleh kehamilan kedua ini. However, apparently I wished too high from them, wished they would do more. 

Best Parts, Best Structure Sentence, Best Quotes

Bagian paling menghibur dari novel ini banyak sekali tetapi aku hanya bisa memberikan beberapa contoh saja (karena review ini udah kepanjangan, LOL). Biar enggak bertele-tele ya...

  1. Momen kenalan Anya dengan Ale di pesawat.
  2. Momen Ale melamar Anya di mobil. OMG itu aneh sekaligus menggemaskan! Di depan sopir pula yang jadi saksi.
  3. Momen pertama kali Ale membawa Anya makan di ketoprak Ciragil.
  4. Momen Ale bangun pagi dan Harris datang bertamu ke rumah Ale. Aldebaran Risjad bangun dengan hati sumringah karena semalam berhasil ‘mendapatkan’ kembali istrinya. Saking senangnya dia enggak sadar mukanya masih cemong dengan bekas lipstik Anya di seluruh wajahnya. Sampai si ART, Tini cekikikan.
  5. Setiap kali Ale cemburu sama si Jack.
  6. Ketika Ale mengantar Anya ke percetakan dan akhirnya mereka first kiss.
  7. Momen ayah Ale memberi wejangan pada Ale yang father-son quality time setelah lama bermusuhan.
  8. Momen Ale makan telur dadar buatan Anya...
Kebanyakan adalah momen little things ya, hehe. Well, kesimpulannya begini...

Ada buku yang hanya menghiburku (dan yang membuatku depresi juga). Buku seperti ini kukategorikan sebagai entertaining books. Books to read to please myself. Hehe.

Ada buku yang hanya membuatku tidak setuju dengan tindakan-tindakan karakternya. Yang tidak membuatku terlibat secara emosional dan membuatku lebih terlibat secara teknis penulisan. Membuatku merasa ‘jahat’ karena harus mengambil tindakan kritisisasi satu-dua bagian buku tersebut. Namun, justru aku banyak belajar tentang menulis fiksi dari buku seperti ini.

Lihat betapa susunan kalimat ini sangat indah. Alih-alih menggunakan S-P-O-K, kita bisa bermain kata seperti Ika Natassa dalam kalimat ini. Best structure sentence in this novel!
Senyumku waktu itu. Dan termenungku sekarang. –  Anya. (hlm. 18)
I conclude that ‘Critical Eleven’ adalah keduanya. It can’t be more perfect or prettier. This novel drives me into the ups and downs of early-year marriage. The best I can get from this novel is Ika Natassa’s Critical Eleven also evokes me into a critical thinking. Not only about writing but also about marriage. I learn from this novel about giving someone control to my heart, my feeling, my life is fucking critical. Can’t wait for my own Critical Eleven moment. LOL! 

Jadi  kuberi 🌟🌟🌟🌟 untuk Critical Eleven!


Expectation for Critical Eleven Movie

Google
Aku sangat menantikan akting keren dari para pemainnya nanti, terutama Reza Rahadian yang akan memerankan Ale. At some point aku kurang sreg juga sih dengan Reza sebagai Ale, tetapi kalau mengingat akting dia yang sampai sekarang belum ada yang bisa menggantikan aku cukup yakin film Critical Eleven nanti akan semakin ciamik! Dan tentu saja harapanku filmnya tidak sekadar novel dijadikan film tetapi digarap seperti film yang benar-benar film. Maksudku, tidak ada iklan produk atau brand tertentu yang numpang ngiklan di adegan-adegannya. Itu pernah terjadi di beberapa film, lho, dan bagi penikmat film itu sangat mengganggu. Aku harap semua bagian film Critical Eleven digarap dengan profesional dan menjadi salah satu maha karya di jagad perfilman Indonesia. Menjadi jenis-jenis film yang bisa masuk kategori Piala Citra gitu deh! Mampu memecahkan rekor penonton film terbanyak sebelumnya dan menjadi gebrakan baru di awal tahun. *tebar confetti*

Last But Not Least

Ini adalah petikan paling kusuka dari Critical Eleven and dan sekali lagi selamat untuk diangkatnya kisah Ale-Anya ke layar lebar! Yey!


Share this:

ABOUT THE AUTHOR

logophile • memorabilia of my adventure as a writer, a reader, a translator and a light seeker •

0 comments