Blue Valley Series –
Senandika Prisma
Judul: Senandika Prisma
Penulis: Aditia Yudis
Penerbit: Falcon Publishing
Tahun Terbit: Desember 2016
Tebal: 212 hlm
ISBN: 978-602-60514-2-4
Di pojok selatan Jakarta, kau akan menemukannya. Tempat itu
tak sepanas bagian Jakarta lainnya. Langit di sana sering berubah seolah
mengikuti suasana hati penghuninya. Kau akan bisa menemukannya dengan mudah.
Ada banyak rumah di sana. Orang menyebut tempat itu Blue Valley.
Rumah nomor 6 kedatangan penghuni baru. Cokelat dan berbulu.
Hadiah untuk seorang anak laki-laki yang riang dan lucu. Bibir mungilnya selalu
mengulas senyum yang dapat menghapus kesedihan dan menularkan keceriaan.
Namun, kehidupan selalu punya kejutan. Rumah nomor 6
menyimpan kutukan. Gadis manis yang tinggal di sana perlahan kehilangan
harapan. Pernikahan yang sudah direncanakan lambat laun berubah menjadi angan
belaka. Prisma bertahan di ambang kehancuran. Dia menanggung semua luka untuk
menemukan kembali yang telah hilang.
---
Lebih
duluan mana; memiliki atau kehilangan? Apa bagian terburuk dari memiliki? Tak
segalanya yang meskipun sudah dimiliki bisa menjadi sesuai yang kita inginkan.
Apa bagian terburuk dari kehilangan? Tidak adanya hal itu dalam hari-hari hidup
kita di depan sana? Rasa rindu atau tidak bisa move on?
Aku
tahu hal terburuk di antara keduanya. Kehilangan hal yang paling berharga
sebelum bisa memilikinya.
Hal
di atas adalah palu besar yang memukul kepalaku begitu selesai membaca Senandika
Prisma. Kehilangan, tepatnya ambiguous loss, menjadi tema yang diangkat
Aditia Yudis untuk buku kesembilannya ini. Salah satu novel dari Blue Valley
Series ini menghadirkan kisah Prisma yang sedang menanti hari pernikahannya
tiba, tetapi sesuatu harus terenggut darinya sebelum mimpi itu bisa terwujud.
Senandika
Prisma menjadi yang kedua aku baca tahun ini. Aku mencantumkannya sebagai salah
satu buku di BBI Read and Review Reading Challenge 2017 di kategori Name in The Book. Yuk, kita
bahas lebih jauh tentang Prisma dan senandikanya!
|
Goodreads |
Judul: Critical Eleven
Penulis: Ika Natassa
Penerbit: Gramedia
Tahun Terbit: Agustus 2015
Tebal: 344 hlm
Bahasa: Indonesia
ISBN13: 9786020318929
Dalam
dunia penerbangan, dikenal istilah critical eleven, sebelas menit paling
kritis di dalam pesawat—tiga menit setelah take off dan delapan menit
sebelum landing—karena secara statistik delapan puluh persen kecelakaan pesawat
umumnya terjadi dalam rentang waktu sebelas menit itu. It's when the
aircraft is most vulnerable to any danger.
In a way, it's kinda the same with meeting people. Tiga menit pertama kritis sifatnya karena saat itulah
kesan pertama terbentuk, lalu ada delapan menit sebelum berpisah—delapan menit
ketika senyum, tindak tanduk, dan ekspresi wajah orang tersebut jelas bercerita
apakah itu akan jadi awal sesuatu ataukah justru menjadi perpisahan.
Ale
dan Anya pertama kali bertemu dalam penerbangan Jakarta-Sydney. Tiga menit
pertama Anya terpikat, tujuh jam berikutnya mereka duduk bersebelahan dan
saling mengenal lewat percakapan serta tawa, dan delapan menit sebelum berpisah
Ale yakin dia menginginkan Anya.
Kini,
lima tahun setelah perkenalan itu, Ale dan Anya dihadapkan pada satu tragedi
besar yang membuat mereka mempertanyakan pilihan-pilihan yang mereka ambil,
termasuk keputusan pada sebelas menit paling penting dalam pertemuan pertama
mereka.
Diceritakan
bergantian dari sudut pandang Ale dan Anya, setiap babnya merupakan kepingan puzzle
yang membuat kita jatuh cinta atau benci kepada karakter-karakternya, atau
justru keduanya.
*
Sebelum
aku berkata apa-apa tentang novel ini, izinkan aku untuk pecah telor setelah
sekian lama absen dari ruang resensi-meresensi buku. Yey, akhirnya di awal
tahun 2017 aku mulai meresensi buku yang kubaca! And, I’m glad to have
Critical Eleven as the first book I reviewed. It’s from national bestseller
author, tho.
Lalu
izinkan aku angkat topi kepada Ika Natassa yang telah membuatku merasakan turbulence
sepanjang membaca kisah Ale-Anya ini *bow*. Seriously, aku merasakan turbulensi
otak dan hati di halaman pertama hingga akhir. Yang mana hal itu berarti something
amazing and something ‘bad’ happen when I’m reading this novel.
What’s up with the something ‘bad’? Apakah itu benar-benar sesuatu yang buruk? Mungkin.
Ini
adalah pertama kalinya aku membaca karya Ika Natassa. Dan jujur aku menyesal
mengapa tidak membaca karya-karyanya yang lain, sejak lama. Sesuai dengan judul
posting ini, ‘Critical Review for Ika Natassa’s Critical Eleven’, karena
turbulensi-turbulensi yang kualami selama membaca, aku tergerak untuk melihat
karya ini di luar garis entertainment reading. Karena sesuatu di buku
ini sangat menarik perhatianku, membuatku tidak tahan untuk bertanya-tanya,
menggeretku untuk berpikir. I’ve never found such mind-evoking novel like
this in 2016. Mari mulai ngobrolin buku ini!
|
Dunia Sofia |
Selamat Tahun Baru 2017! Menyambut tahun yang baru, Dunia
Sofia akan kembali aktif dengan posting resensi buku yang lebih rajin dan
teratur lagi. Aku punya setumpuk bacaan yang belum bisa kubaca semua di tahun
kemarin dan setumpuk buku yang belum sempat aku resensi. Untuk mengawali tahun
ini aku punya empat buku yang rencananya akan aku baca dan baca ulang di bulan
Januari ini. Buku-buku itu adalah: